Rapat Penyusunan Raperda Kab. Sleman tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Th 2022


YUSTI BAGASUARI, S.H.
diposting pada 09 Juni 2022

Hari/Tanggal   : Kamis, 09 Juni 2022

Jam                 : 09.30 – 12.00 WIB

Tempat            : Ruang Rapat Kalpataru DLH Kab. Sleman

 

Peserta Rapat:

1.    Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Jawa

2.    DLH Kab. Sleman

3.    Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kab. Sleman

4.    Bagian Hukum Setda Kab. Sleman

5.    Tim PSLH UGM

6.    Kanwil Kemenkumham DIY (Heru Purnomo dan Yusti Bagasuari)

 

Jalannya Rapat:

1.    Rapat dibuka oleh Sekretaris DLH.

-       Regulasi di Sleman yaitu Perda 1/2016 sudah tidak sesuai dengan dinamika regulasi yang ada. Terdapat beberapa materi muatan pokok (kewenangan) yang diubah, jumlah pasal yang diubah lebih dari 50% sehingga disepakati Perda 1/2016 dicabut dan diganti baru.

-       Apa istilah yang akan dipakai “perlindungan” atau “pelindungan”

2.    Kepala DLH:

-       Setiap hari harus melakukan penebangan pohon sehingga membuat kebijakan siapa yang meminta pohonnya ditebang harus mengganti minimal 2 pohon di tempat lain. Bagaimana dasar hukum yang bisa jadi cantolan kebijakan tersebut. Apakah Pasal 57 Perda 1/2016 masih bisa dipertahankan sebagai dasar kebijakan tersebut? Berharap substansi dalam Perda 1/2016 yang tidak terkait dengan PP 22/2021 bisa dipertahankan.

-       Raperda ini harus dilakukan harmonisasi beberapa kali.

3.    PSLH UGM:

-       Terdapat ide besar Perda 1/2016 disesuaikan dengan UU Ciker terutama integrasi proses perizinan. Diharapkan Raperda dapat mengakomodir hal-hal yang ada di daerah dan jadi pelaksana PP 22/2021 aupun aturan di bawahnya.

-       Kebijakan umum kami bahasakan dalam bahasa yang cukup umum. Hal-hal yang sangat teknis, praktis, dinamis bisa disikapi dengan Perkadin. Substansi terkait kewajiban penggantian pohon diakomodir Pasal 6, sudah banyak aspek Perda 1/2016 yang diakomodir.

-       Nomenklatur terkait dengan kesesuaian bahasa dan substansi norma. Dalam KBBI lebih tepat “pelindungan” tapi peraturan perundang-undangan di atasnya “perlindungan”, sehingga konsistensi yuridis yang dipakai.

4.    Paparan draft Raperda oleh PSLH:

-       Pasal 1 udara ambien tidak dimasukkan arena dalam batang tubuh tidak banyak dirujuk.

-       Untuk memudahkan penunjukan kewenangan, DLH diberikan batasan pengertian sendiri. OPD diluar DLH dibuat umum.

-       Ketentuan umum sudah disesuaikan kebutuhan substansi yang dirujuk dalam batang tubuh.

-       Asas dapat ditambah.

-       Dalam pengaturan di daerah, runag lingkup penting sehingga masyarakat dapat mengetahui apa saja yang diatur dalam Raperda.

-       Sistem informasi LH program besar pemerintah yang coba dinarasikan meliputi perizinan, informasi, pengawasan.

-       Penapisan risiko beda dengan penapisan data.

-       Dalam konteks PP 22/2021, ririko kecil bisa berdampak tinggi sehingga wajib AMDAL.

-       Pasal 6 dengan bahasa narasi yang umum, kebijkan DLH bisa tercover.

-       Bukan memperbanyak tugas dan kewenangan tapi lebih memfasilitasi apa yang sudah ada dan dibahasakan secara lebih umum.

-       Penebangan pohon erupakan penjabaran dari kwajiban RTH, bisa diatur dalam Perkadin.

-       RPPLH ada tambahan RPPPMA dan RPPMU.

-       Tidak mengulang pasal-pasal dalam PP 22/2021 tapi menarasikan ulang kewenangan dan kewajiban daerah dalam PP 22/2021.

-       Jika belum ada PPLH akan diwajibkan oleh Pemerintah untuk membuat. Kewenangan sangat kuat di PP 22/2021 tapi pelaksanaan masih lemah.

-       Sanksi pidana tetap dicantumkan untuk menegaskan bahwa ada sanksi terkait lingkungan tai khawatir pelaksanaannya membeban daerah sehingga diacu ketentuan pidana peraturan Pusat.

5.    Sekretaris DLH:

-       Mengalami kebingungan jenis bangunan, kewenangan untuk melakukan pemeriksaan/penilaian dokumen. Apalagi persetujuan teknis yang mengikutinya.

-       Sudah ada Perda sampah dan RTH yang menunjuk UU, sehingga substansi tersebut dikeluarkan dari draft Raperda.

-       Terkait penebangan pohon sudah ada melalui izin Bupati.

6.    Kumham:

-       Hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan Raperda belum memenuhi kaidah pembentukan peraturan perundang-udnangan. Ada penarasian menyesuaikan praktifk DLH untuk mempermudah pelaksanaan. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tidak melihat dari mudah/kalimatnya yang sederhana, tapi frasa. Jika melihat PP 22/2021 bukan “pelindungan” tapi frasa “perlndungan lingkungan hidup adalah...” merupakan satu kesatuan norma yang tidak boleh dipenggal.

-       Lahirnya UU Ciker dan turunannya terkait dengan kemudahan investasi di daerah. UU Ciker tidak mengubah secara utuh UU 32/2009 terutama definisi. Tidak ada lagi izin tapi persetujuan lingkungan hidup. PLH adalah kendali pencemaran setiap kebijakan potensi pidana, perdata, TUN. Persetujuan lingkungan adalah keputusan pejabat. Bisa dimensi pidana. Raperda bagi penegak hukum di Sleman saat DLH mengeluarkan keputusan. PLH substansi pokok yang perlu dicermati adalah terkait instrumen AMDAL, UKL-UPL. Mekanisme secara pokok di Raperda harusnya clear, selain akan bicara tentang pengelolaan.

-       Ada beberapa hal dalam prinsip terbaik rumusan norma yang tidak sesuai dengan UU dan PP. Pasal 7 Raperda disandingkan dengan Pasal 22 UU Ciker yang mengubah Pasal 63 UU 32/2009. Ganti kata/kalimat tentang kewenangan mengakibatkan multitafsir. Unsurnya ada di UU tapi narasinya berubah dari UU Ciker.

-       Tidak ada materi muatan RDTR di Raperda.

-       KKPR yang instrumen hukumnya RTRW dan RDTR, instrumen PLH, PBG menjadi 3 landasan hukum didorong pusat agar daerah punya Perda ini untuk menguatkan perizinan berusaha berbasis risiko per sektor. 

-       DI wilayah Sleman perlu ada zonasi RDTR sebagai landasarn hukum bagi Sleman untuk memberikan perizinan berusaha yang menjadi kewenangannya. Raperda ini lebih menyusun pokok-pokok berkaitan pengelolaan LH karena terkait administrasi pemerintaan. Jika ada norma pokok perlu ada mekanisme administratif, siapa berbuat apa, melakukan hubunga kerja dengan siapa. Terkait pencemaran baku mutu delegasi ke Perbup supaya tidak terlalu banyak yang diatur dalam Perda.

-       Tidak ada kewenangan tentang SDA karena basisnya hidrologi bukan administratif. Sumber air kita lintas provinsi yang diampu BBWS. Sleman sebagai daerah tangkapan air harus menjaga baku mutu (Raperda tidak mengatur detail, delegasikan saja ke Perbup), harus melakukan apa dengan Balai Konservasi, lebih detail di Perbup. Pengawetan SDA di Perbup. Koordinasi DLH dengan Dishut, BBWS diatur dalam Perbup (Raperda ini mengatur norma pokoknya). Baku mutu air merupakan bagian dari perlindungan LH.

-       Norma kewenangan dalam UU Ciker Norma hukum beda dengan bahan ilmiah/tulisan ilmiah. Bisa memicu perdebatan APH jika kalimat diubah. Jika kewenangan sudah ada di UU disalin ulang saja karena jadi pembuka, kecuali jika akan dijabarkan bagaimana cara melakukan pengendalian pencemaran secara praktek, hal tersebut bisa didiskusikan (Pasal 8 dan Pasal 18 Raperda).

-       Kebijakan umum BAB III pengelolaan LH bisa dilihat dari definisi dalam Pasal 1 angka 2. PPLH di daerah ada 6 komponen besar. Bicara kebijakan umum bukan kegiatan tapi terjemahan dari komponen tersebut.  Pengelolaan LH bukan kegiatan tapi kebijakan yang diakukan melalui program. Dalam program berisi kegiatan. Kebijakan umum dalam tahap perencanaan dst. Misalnya inventarisasi dalam Perda 1/2016 sudah masuk. Potensi SDA yang diinventarisasi, diatur lebih lanjut dalam Perbup.

7.    P3 Jawa:

-       Kemenhut punya UU 32/2009 sebagai acuan dalam pembentukan Raperda.

-       Substansi raperda harusnya lebih operasional dan implementatif.

-       Masih perlu banyak sosialisasi peraturan-peratura terbaru.

-       Apakah tahapan harus diadopsi, karena harus disesuaikan dengan kondisi di Sleman. Raperda ini harusnya mengakomodir usy lingkungan di Sleman.

8.    Dispetaru:

-       RDTR melalui Perkada.

-       Pasal 33, Pasal 33 ayat (3) ditambah persetujuan KKPR.

9.    Kumham: bicara KKPR ada 3 instrumen yaitu konfirmasi (jika ada RDTR), persetujuan KKPR (Pusat, Provinsi, Kab/Kota), rekomendasi (jika tidak ada RDTR, ditarik ke Pusat)

10.  Bu Isti (Kasi Penataan Lingkungan DLH):

-       Diharakan Raperda ini bisa mengatasi kekosongan hukum, misalnya Pasal 47. Penjelasan Pasal 47 sanksi administratif tidak hanya teguran tertulis. Pada seksi pengawasan selama ini setelah diberi paksaan untuk menyusun DELH mereka lebih memilih menyusun dokumen tersebut sehingga tidak ada perbedaan antara yang tertib/tidak. Pemohon yang tertib menyusun AMDAL yang begitu sulit, yang tidak tertib menyusun DELH yang lebih mudah.

-       Perlu ada denda administratif. Dalam PP 22/2021 bagi usaha kegiatan yang tidak punya izin usaha/izin operasional persetujuan lingkungan denda administratif 5%, punya izin tapi tidak punya persetujuan lingkungan denda 2,5%, mengusukan supaya dapat dimasukkan dalam Raperda untuk efek jera serta harus sudah dilaksanakan.

-       Belum mengakomodir perubaan persetujuan lingkungan. Hotel yang penambahannya kecil perlu didiskusikan.

-       Belum ada pengelolaan pengaduan, padahal dibutuhkan, apakah mediasi atau pengadilan.

-       Perbup 49/2014 delegasi sanksi administratif. Sanksi berupa teguran dan paksaan cukup melalui Kepala DLH, tidak perlu Keputusan Bupati karena akan sangat banyak dan tidak efektif.

-      

Komentar (0)





Copyright © Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM D.I. Yogyakarta. 2021