NOTULA
Hari/tanggal : Kamis, 09 September 2021
Waktu : 09.00-11.30 WIB
Tempat : Zoom
Peserta
Rapat :
1.
Sekretariat DPRD DIY;
2.
Biro Bina Mental Spiritual;
3.
Dinas Kesehatan DIY;
4.
Biro Hukum Setda DIY;
5.
RS Grhasia;
6.
BAPPEDA;
7.
Tim Ahli CV Mulitilisensi;
8. Perancang Kanwil Kemenkumham DIY (Santi Mediana Panjaitan, Yusti Bagasuari)
Jalannya Rapat:
1.
Rapat dibuka oleh Ibu Dyah Ratih dilanjutkan paparan NA oleh Tim Ahli CV
Multilisensi.
2.
Masukan dari peserta rapat:
a.
Setwan:
·
Perlu memperbaiki penulisan dan analisis.
·
NA mengikuti standar penulisan ilmiah. Perlu memperbaiki penulisan
tabel, sub bab. Ada penulisan kalimat yang terputus.
·
Kutipan menggunakan footnote dan dimasukkan dalam daftar pustaka.
·
Halaman 9 bercerita mengenai DIY namun menggunakan data nasional.
Penulisan substansi perlu diurutkan.
·
Halaman 19 terdapat sub bab sample penelitian tanpa penulisan nomor. Penulisan
sampel menggunakan kaidah Bahasa Indonesia dan ditulis dengan cetak miring.
·
Teori yang dicantumkan sudah sangat terkait, kedalaman menulis dapat ditambahkan
agar tidak terlalu singkat dan narasi mengalir (halaman 21 dan 22). Dapat
ditambahkan teori sistem kesehatan jiwa.
·
Bab teori menulisakan peraturan perundangan, seharusnya diletakkan pada
bab 3.
·
Mengecek kembali teori promotif, prefentif, kuratif, rehabilitatif.
·
Halaman 32 penulisan asas masih teralu melebar, yang perlu ditulis
raperda akan memuat asas apa saja selain yang diamanatkan UU Kesehatan Jiwa,
apakah akan mengambil semua/sebagaian.
·
Selain hasil survei dan empiris, ada data dasar yang mendukung (misal
jumlah psikolog, perawat, psikiater, klinik). Data riskesdas dapat masuk dalam
penambahan data dasar. Termasuk prgram pemda dan anggarannya. Dilengkapi dengan
paragraf analisis.
·
Halaman 42 hasil kajian Biro Bina Mental dapat dijadikan data, namun
penulisannya perlu dirapikan.
·
C2 dan C3 Naskah akademik tepat dituangkan dalam bentuk matriks.
·
Istiliah ODGJ dan ODMK dalam NA apakah tepat jika disingkat.
·
Perlu kajian apakah ODMK/ODGJ termasuk disabilitas.
·
Belum semua UU yang ditulis ada analisisnya yang berkaitan dengan
materi. Perlu cek UU 23/2014 apakah terdapat pengaturan berkenaan dengan
pembagian kewenangan dalam penyelenggaraan kesehatan jiwa.
·
Pergub berada di bawah Perda, sehingga tidak dimasukkan dalam analsis
peraturan perundang-undangan.
·
Halaman 114 terdapat materi mengenai pemberdayaan petani yang tidak ada
kaitannya dengan penyelenggaraan kesehatan jiwa.
·
Halaman 118 terdapat beberapa penjelasan terkait landasan sosiologis,
tinggal menyarikan atau menyimpulkan dari fakta empiris, singkat padat berisi.
·
Sistematika draf raperda perlu dipertimbangkan ulang karena mirip dengan
UU Kesehatan Jiwa. Di mana akan ada menempatkan/penambahan hal-hal baru.
b.
Kanwil Kemenkumham:
·
Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis menjadi konsideran
meninmbang. Apakah kekurangan hanya pada jumlah nakes, atau apakah ada sistem
di masyarakat yang perlu pengaturan. Karena inisiatif dewan, mungkin akan
dianggarkan, namun karena perda hendaknya lebih menaruh perhatian pada sistem
di masyarakat.
·
Jangkauan sudah nampak, arah pengaturan belum. Masyarakat mau seperti
apa, misalnya masyarakat mengaggap ODGJ bisa kembali bekerja, berarti masalahnya
pada fasilitas yang disediakan pemerintah, kekurangannya apa sehingga dapat
berfungsi maksimal.
·
Perlu dihitung jumlah ideal faskes di tiap kabupaten, akan mengikut
jumlah fasilitas dan nakes. Follow up pada penganggaran.
·
Draf raperda terdapat sanksi, sanksi fasilitas yang informal apakah
tidak masuk ke masalah perizinan sehingga fokus perda kepada fasilitas yang
sudah ada. Mungkin sanksi bukan sekedar pada masalah perizinan. Jangan sampai
sanksi dan perizinan jadi bertentangan satu sama lain.
·
Selama ini pemda sudah memberikan apa saja terhadap kegiatan berbasis
masyarakat. Beban tidak hanya pada keuangan daerah. Masyarakat diberikan ruang
untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kesehatan daerah. Peran masyarakat
sebelum/pencegahan dan sesudah (rehab).
c.
Dinkes:
·
Idealnya dalam perda dapat terbaca peran pemerintah dan masyarakat.
·
Berkaitan TPJM sedang berjalan diinisiasi tempatnya oleh Biro Bina
Mental. Mungkin di perda akan memunculkan peran masing-masing OPD. Semua
kembali ke Dinkes, namun tidak semua hal bisa diampu Dinkes.
·
Tahun 2013 sudah dibuat buku pedoman pengobatan gangguan jiwa disusun
oleh tim psikiater, Dinkes kabupaten, dan RSUD, obat apa yang boleh ada di
puskesmas, bagaimana jika tidak ada.
·
Data 2020 belum ada, untuk data belum maksimal karena pandemi. Namun
punya catatan 10 diagnosis penyakit kesehatan jiwa yang menjadi panduan bagi
puskesmas.
·
RB, berbasis masyarakat, kalau ada punishment dan sebagainya bagaimana.
RBM dibentuk dengan monitoring dari puskesmas dan Dinkes.
d.
Biro Bina Mental
Saat ini Biro Bina Mental sedang membuat RAD
lintas sektor TPKJM, namun kesulitan untuk mengakses LSM dan perguruan tinggi. Pergub RAD akan mulai lebih
dahulu. Pergub akan saling melengkapi dengan perda.
e.
RS Grhasia:
·
Data empiris aka menjadi substansi dan memberikan arah sehingga jelas
siapa harus berbuat apa dapat diatur lebih tegas.
·
Berharap akan ada mekanisme penanganan ODGJ yang terintegrasi sehingga
dapat menjadi solusi atas masalah yang dihadapi. Promotif, prefentif yang
terukur dan dapat memberikan daya ungkit sangat diperlukan seperti deteksi
dini.
·
Pelayanan, ODGJ masih banyak yang kesulitan, perlu transportasi khusus.
Diperlukan jejaring sehingga masyarakat mendapatkan solusi. Misal DIY ada
public service centre atas kasus gawat darurat untuk melakukan evakuasi.
·
Mekanisme rujukan diatur secara berjenjang, RS Grhasia menerima pasien
dalam keadaan sakit lanjut, rujukan perlu diperpendek, sehingga dapat langsung
diakses dari faskes 1 ke RS jika pasien membutuhkan. Sepakat kabupaten punya
rumah singgah untuk pasien ODGJ pasca rawat yang telantar atau mengalami
penolakan di masyarakat..
f.
Bappeda:
·
Perlu ditambahkan tentang standar pelayanan minimal.
·
Tentang SDGIS (no one left behind) termasuk di dalamnya ODMK.
·
Lebih memetakan peran stakeholder/lintas sektor.
·
Landasan sosiologis ada nilai di masyarakat yang negatif misalnya ketakutan
terhadap ODGJ namun di lain sisi dapat dieksplorasi nilai masyarakat DIY yang
tepo sliro dan peduli. Secara sosiologis dapat menjadi nilai positif untuk
menciptakan DIY yang ramah ODMK/ODGJ dan mengurangi masalah terkait gangguan
kejiwaan.
·
Poin kerja sama antar daerah secara indikatif dapat diperjelas.
Penafsiran subyektif, penderita gangguan jiwa manakala sudah di jalan, tanpa
identitas ternyata berasal dari luar DIY, bagaimana bentuk pengaturan kerja
sama antar daerah.
·
Peran lembaga dan masyarakat, misal CSR apaah dapat diarahkan untuk
kesehatan jiwa (tidak melulu ODGJ) namun bagaimana ikut membangun sistem
kesehatan jiwa yang lebh baik.
g.
Biro Hukum:
·
Hasil FGD Sarpras kurang dll yang berdampak pada keuangan daerah namun
belum ada penjelasan seperti apa dan memerlukan anggaran seberapa besar.
·
Apabila diperlukan menyusun pergub, dijelaskan substansi apa yang akan
diatur dan bagaimana bentuk pergub yang diinginkan sehingga pergub dapat
berjalan efektif.
h. Rapat ditutup pada pukul 11.30 WIB.
No | File Pendukung |
1. | Notula 2021-09-09.docx |
Komentar (0)