Rapat pendampingan penyusunan Raperda DIY tentang Penanggulangan HIV dan AIDS


YUSTI BAGASUARI, S.H.
diposting pada 16 Februari 2022

Hari                 : Rabu, 16 Februari 2022

Waktu              : 09.00 – 12.00 WIB

Tempat            : Ruang Rapat Lt. II Biro Hukum Setda DIY

Peserta Rapat:

1.    Biro Hukum Setda DIY

2.    BPKA DIY

3.    Dinas Kesehatan DIY

4.    Bappeda DIY

5.    Dinas Sosial DIY

6.    Dinas Pemberdayaan Perempuan/Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY

7.    Biro Bina Mental Spiritual Setda DIY

8.    Biro Organisasi Setda DIY

9.    Komisi Penanggulangan AIDS DIY

10.  Kanwil Kemenkumham DIY (Andika Distri Antoko, Anastasia Rani Wulandari, Yusti Bagasuari)

 

Acara: Rapat pendampingan penyusunan Raperda DIY tentang Penanggulangan HIV dan AIDS

Jalannya Rapat:

1.    Rapat dibuka oleh Bpk. Reza (Kasubag Perda Biro Hukum Setda DIY)

2.    Dinkes:

-       Perda 12/2010 sudah kurang relevan seiring meningkatnya jumlah pasien HIV/AIDS di DIY.

-       Setelah hari AIDS sedunia target dinaikkan menjadi 95.

-       Masyarakat masih trauma diskriminasi ODHA.

-       Pembiayaan dalam Perda 12/2010 belum rinci, tidak semua pasien HIV punya BPJS, tidak semua pasien HIV adalah warga DIY.

-       ODHA resisten dengan penyakit lainnya, misalnya TBC, biaya membengkak dan BPJS tidak bisa cover keseluruhan. ODHA menjadi gelandangan, jarang mendapat pekerjaan sehingga mempersulit pengobatan.

-       DIY sebagai tempat tujuan wisata dan belajar. ODHA banyak pelajar dan mahasiswa.

-       Terdapat kasus ODHA diberhentikan dari pekerjaan, setelah difasilitasi dapat terus bekerja selama tidak ada upaya menularkan kepada orang lain.

-       Pelacakan lebih kepada upaya testing. Dinkes memfasilitasi testing HIV/AIDS. Ada 8 sasaran testing yaitu ibu hamil, IDU, penasun, WPS, LSL, transgender. Setiap provinsi ada estimasi ODHA. Masuk dalam kategori pencegahan. Pencegahan menjadi 2, yaitu pencegahan bagi masyarakat umum supaya tidak melakukan perilaku berisiko supaya tidak tertular HIV/AIDS dan pencegahan bagi ODHA supaya tidak menularkan ke orang lain.

-       Setiap tes HIV secara sukarela bagi orang berisiko harus didahului konseling pra tes dan pasca tes..

3.    Biro Hukum:

-       Konsiderans meninmbang belum ada landasan filosofis dan yuridis. Masih banyak memuat landasan sosiologis. Landasan filosofis disarankan setiap orang berhak mendapatkan kesehatan, bebas disikriminasi, tanggung jawab pemda menyediakan fasilitas kesehatan. Landasan yuridis disarankan peraturan perundang-undangan sudah ada tapi belum cukup mengatur dalam penanggulanagan HIV/AIDS.

-       Pasal 1 angka 3 sudah memunculkan kegiatan dalam penanggulangan HIV/AIDS.

-       Penggunaan frasa orang sakit perlu diperjelas. Jika memang orang sakit dalam raperda ini adalah ODHA maka ditegaskan saja menggunakan istilah ODHA, kecuali memang terdapat orang sakit yang lain yang bukan ODHA.

-       Apakah ADHA akan diatur atau tidak? Karena dalam batang tubuh tidak ada. Apabila pelayanan ADHA akan disatukan dengan ODHA maka tidak perlu dicantumkan, tapi apabila ada hal spesifik maka bisa dicantumkan.

-       Daerah bisa melakukan fasilitasi dan koordinasi. Fasilitasi tidak melalui pelaksanaan kegiatan namun supporting.

-       Setiap OPD punya tusi masing2 sehingga dalam raperda harus jelas siapa OPD yang bersinggungan langsung dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS.

-       RAD sebaiknya prosduk hukum sehingga bisa mengikat, kalau berbentuk dokumen hanya menjadi pelaksanaan kegiatan internal tapi tidak mengikat keluar. Dalam raperda perlu dimunculkan delegasi penyusunan RAD.

-       Pasal 16 ayat (2) dan (3) terkesan dilakukan penyuntikan sendiri. Harus disebutkan secara tegas siapa yang menggunakan, pasien atau tenaga medis.

-       Pasal 17 ayat (6) kata “mandiri” merujuk pada orangnya atau pelayanan kesehatannya?

-       KPA lembaga nonstruktural/tidak? Harus disebutkan secara tegas. PNS tidak bisa rangkap jabatan di lembaga lain, harus melepaskan jabatan/berhenti sementara jika masuk LNS. Selama ini LNS tidak menjadi koordinator dalam pelaksanaan kegiatan, tapi beriringan dengan garis koordinasi. Terdapat 2 alternatif satgas (struktur seperti sekarang, mengikutsertakan PNS, bisa memerintahkan OPD melakukan suatu kegiatan karena masih menjadi bagian pemda) dan LNS (berisi profesional non PNS, tidak bisa melakukan kegiatan langsung kepada OPD, hanya bisa memberikan rekomendasi/arahan).

-       Sanksi pidana diberikan terhadap norma yang memberikan pembebanan kewajiban atau larangan. Ketika menggunakan operator norma harus maka digunakan sanksi administratif. Belum menemukan norma pembebanan kewajiban dalam draft. Dapat menambahkan bab larangan.

-       Sanksi 3 bulan dipilih karena pemeriksaan cepat.

4.    Kumham:

-       Pasal 1 angka 3 menimbulkan kerancuan. Apabla tidak menggunakan koma maka kegiatan promosi setara dengan pencegahan. Padalah dalam pasal-pasal berikutnya promosi bagian dari pencegahan.

-       Angka 3 dan 6 terjadi dobel pengaturan, mana yang akan dipakai.

-       Sistematika perlu dibenahi, penanggulangan terdiri atas pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi. 3 pokok kegiatan tersebut kemudian di-breakdown lagi. Karena akan disebut berkali2 maka diberikan batasan pengertian dalam ketentuan umum. Sehingga pembaca memiliki sudut pandang yang sama.

-       Penggunaan istilah promosi ibarat iklan. Menurut KBBI promosi adalah kenaikan pangkat, konteks promosi dalam raperda peningkatan kesadaran masyarakat. Apakah nomenklatur sudah mengikat dalam peruuan terkait HIV/AIDS? Salah satu sasaran promosi adalah Dinas Pendidikan dengan nomenklatur edukasi. Namun dalam draft lebih ke edukasi masyarakat, bukan edukasi khusus pelajar/mahasiswa. Apakah dimungkinkan pengertian edukasi yang dimasukkan dalam konteks promosi dalam raperda? Akan terjadi pro kontra di masyarakat. Penormaan penggunaan alat pelindung diri dalam raperda sulit ditegakkan karena sulit dalam pembuktian.    

-       Perlu memperjelas siapa melakukan apa berdasarkan kewenangan masing-masing instansi.

-       OPD harus disebutkan secara spesifik supaya tidak saling lempar tanggungjawab seperti yang terjadi pada Perda 12/2010. Kalaupun ketugasan dilaksanakan bersama, harus disebutkan OPD mana yang menjadi koordinator.

-       Perlu batasan pengertian pasien, penasun. 

-       Maksud dan tujuan disebutkan mengenai pelacakan. Apakah pelacakan tersebut dimaknai sama dengan pasal 26? Sampai sejauh mana upaya pemerintah dalam melakukan pelacakan HIV/AIDS?

-       Harus melihat kembali apakah peraturan perundang-undangan di tingkat pusat sudah mengatur mengenai hal yang dilarang tersebut.

-       Perlu ada grading kesalahan/pelanggaran berdasarkan tingkat keparahan sehingga tdiak semua dipukul rata 3 bulan atau 50 juta.

5.    KPA:

-       ADHA menjadi hal urgent dibahas karena kesulitan dalam memberikan pelayanan. Panti asuhan anak belum mengakomodir anak HIV padahal lebih dari 100 anak yang sebagian besar ditinggal mati ortu dan diampu keluarga miskin.

-       Belum ada pengaturan mengenai tempat transasksi seks di DIY.  Pergub 37/2012 ada sertifikasi yang dikeluarkan Dinkes, tapi belum diimplementasikan. Satpol PP sudah melakukan penegakan terhadap salon plus2 tapi tidak dilakukan lagi sejak 2018.

-       Paliatif care terdapat shelter, edukasi, pusat pelayanan. Urusan HIV/AIDS kewenangan pusat. Rehabilitasi kewenangan Dinsos, tapi tidak sampai HIV/AID. Walaupun prakteknya Dinsos membantu, tidak menggunakan istilah HIV/AID tapi PMKS.

-       Sekretariat KPAN dimerger dengan Kemenkes (Perpres 124/2016), tapi daerah mengacu Permendagri 20/2007. Masih ada 28 provinsi yang bertahan dengan permendagri tersebut dengan dukungan kepala daerah.

-       Punya RAD penanggulangan HIV/AIDS tapi belum ada Pergub.

-       Kasus HIV meningkat pada pasien narkotika suntik. Kemenkes mengelola program pengurangan dampak buruk narkotika suntik. Penasun diberikan edukasi, layanan, alat suntik steril, dan mengganti narkotika suntik dengan bahan substitusi (metadon). Diharapkan penasun masih tetap bisa produktif. Kelanjutan program pemerintah pusat. Aturan main masih belum jelas. Belum ada evaluasi penuh apakah program tersebut berhasil atau tidak di DIY.

-       Pasal 26 berbeda dengan pelacakan HIV/AIDS. Pengamatan setiap tahun yang dilaksanakan setiap daerah untuk melihat level masing2 daerah, low epidemic level, concentrate epidemic level, generized epidemic level. Hasil pemantuan menjadi dasar pelaksanaan kerja2 berikutnya.

6.    Dinsos:

-       Paliatif care seharusnya masuk ranah rehabilitasi sosial, tapi bukan kewenangan Dinsos. Dinsos bekerja sama dengan salah satu LKS menyediakan shelter bagi PPKS yang mengalami stigma dan diskriminasi. Tidak bisa menolak klien yang bukan HIV/AIDS tapi mengalami diskriminasi, padahal kuota terbatas. Penangan di luar panti tidak bisa dilakukan, sedangkan kesiapan kabupaten/kota masih kurang. Khawatir Pasal 27 justru akan dihapus.

-       Menempatkan tenaga kesehatan tidak mudah.

-       Jaminan sosial hanya untuk orang tidak mampu dan fakir miskin.

7.    Biro Organisasi

-       LNS melaksanakan urusan yg memang belum dilaksanakan lembaga struktural. Kebiijakan yang diambil adalah memaksimalkan sumber daya internal untuk melaksanakan urusanyang menjadi kewenangan daerah. PNS dapat masuk pokja. Secara adminitratif dikoordinasikan OPD teknis.

8.    Rapat ditutup.

Komentar (0)