Notula
Rapat Paparan
Laporan Pendahuluan Raperda Tentang Kesehatan
Jiwa
Hari/tanggal : Kamis, 12 Agustus 2021
Waktu :
09.00-11.30 WIB
Tempat :
Zoom
Peserta Rapat :
1. Sekretariat
DPRD DIY;
2. Biro
Bina Mental Spiritual;
3. Dinas
Kesehatan DIY;
4. Biro
Hukum Setda DIY;
5. RS
Grasia;
6. BAPPEDA
DIY;
7. Tim
Ahli CV Mulitilisensi;
8. Perancang
Kanwil Kemenkumham DIY (Santi Mediana Panjaitan, Yusti Bagasuari, dan Syafriel Hevitha Endyani)
Acara:
Rapat Paparan Laporan Pendahuluan Raperda
tentang Kesehatan Jiwa
Jalannya Rapat:
1. Rapat
dibuka oleh Ibu Dyah Ratih (Setwan DPRD DIY).
2. Paparan
Tim Ahli CV. Multilisensi.
·
Beberapa faktor yang mempengaruhi
pelayanan kesehatan jiwa masyarakat (Kajian Penanganan Kesehatan Jiwa oleh Bina
Mental Th 2019):
-
Tidak
tersedianya data dasar besaran ODGJ/ODMK atau pengguna napza.
-
Keterbatasan
dukungan anggaran baik di tingkat pemda maupun lembaga non-pemerintah.
-
Terbatasnya
jumlah dan kapasitas tenaga kesehatan jiwa yang tersedia baik di inistusi
pemerintah maupun non-pemerintah.
-
Masih
kuatnya stigma terhadap ODGJ/ODMK atau faskes yang memberikan layanan kesehatan jiwa.
-
Tidak
adanya pedoman penyelenggaraan kesehatan jiwa masyakat yang disediakan oleh Kemenkes sebagai dasar untuk melakukan standardisasi
pelayanan.
-
Meski
sudah tersedia model yang efektif, upaya pemberdayaan masyarakat belum secara
sistematik dan meluas dilakukan oleh pemda.
·
Upaya-upaya
yang
sangat perlu dilakukan (Kajian
Kesehatan Jiwa oleh Bina Mental Th. 2019):
-
Pengembangan sistem layanan kesehatan jiwa yang komprehensif di semua
Kabupaten/Kota dengan melibatkan semua potensi yang ada di dalam masyarakat.
-
Deteksi
dini dan pertolongan pertama dapat dilakukan di keluarga, sekolah,
kader, TPKJM, dan penyembuh traditional/Panti.
-
Penguatan
Puskesmas (penempatan
psikolog di Puskesmas, training tentang kesehatan jiwa untuk dokter dan perawat).
-
Untuk
pasien yang memerlukan pelayanan lanjutan akan dirujuk ke RSJ atau RSU yang
memiliki bagian psikiatri. Setelah perawatan di rumah sakit dilakukan, pasien
akan dirujuk balik ke keluarga atau dengan terlebih dahulu direhabilitasi di
Rumah Antara Dinsos atau Panti masyarakat.
-
Program-program anti stigma dari kelompok konsumen, DSSJ atau
program-program rehabilitasi berbasis masyarakat lainnya.
-
Penguatan
Layanan Promosi dan Pencegahan dengan melibatkan para pihak di masyarakat,
yaitu individu,
keluarga,
sekolah,
tokoh agama/tempat ibadah, organisasi konsumen, kader, edukator/NGO,
institusi non-kesehatan
-
Pembentukan
TPKJM di setiap kecamatan.
-
Mendorong
implementasi regulasi yang terkait kesehatan jiwa seperti pergub penanganan pemasungan,
perda disabilitas dll.
-
Mendorong lintas sektor untuk turut berpesan dalam peningkatan
produktivitas ODGJ yang telah pulih. Seperti pelatihan keterampilan, pemasaran
hasil produksi, pemanfaatan CSR perusahaan, pemberian modal usaha, pemberian kesempatan
kerja dll. Dinsos, Deperindakop, Dinaskertrans, dan sebagainya
-
Mengembangkan
payung hukum yang memberikan arah bagi pembanguan pelayanan kesehatan jiwa di
DIY. Berikut ini adalah berbagai pertimbangan yang perlu dilakukan dalam
menyusun regulasi yang tepat bagi penguatan layanan kesehatan jiwa di DIY
·
Hasil survei persepsi masyarakat terhadap
ODGJ/ODMK:
-
Masih
cukup banyak masyarakat yang merasa tidak nyaman jika ada anggota rumah tangga
atau tetangga dengan gangguan jiwa disekitarnya (39,1%)
-
Sebagian
masyarakat beranggapan bahwa ODGJ berbahaya (21,8%)
-
Sebagian
kecil masyarakat berpendapat bahwa ODGJ sebaiknya dijauhi (7%)
-
Sebagian
kecil masyarakat beranggapan bahwa gangguan jiwa berat itu menular (1,5%)
-
Sebagian
masyarakat beranggapan bahwa ODGJ tidak sepatutnya dipekerjakan dan berpendapat
bahwa keputusan mempekerjakan ODGJ merupakan keputusan yang salah. Sedangkan
81,6% masyarakat tidak setuju bahwa keputusan tersebut salah.
-
Sebagian
besar masyarakat berpendapat bahwa ODGJ dapat berperilaku baik dan berprestasi,
meskipun masih terdapat beberapa % yang tidak setuju dengan pendapat tersebut.
-
42% responden percaya bahwa ODGJ tidak
sebaik orang normal pada umumnya dan 78,8% responden berpendapat bahwa
kebanyakan orang takut kepada ODGJ, serta 29,1% meyakini bahwa ODGJ tidak dapat
dipercaya seperti orang normal pada umumnya.
-
99%
responden tidak meremehkan seseorang yang berkunjung ke konselor karena masalah
kejiwaan.
-
83,7% responden tidak setuju dengan
anggapan bahwa dengan memberi kegiatan kepada ODGJ tidak akan membuat mereka
sembuh, sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan memberikan ODGJ kegiatan,
dimungkinkan dapat membantu kesembuhan ODGJ.
-
4,6%
responden ada yang beranggapan bahwa pemasungan adalah terapi untuk
penyembuhan.
-
Sebagian
besar responden berpendapat dukungan masyarakat dan keluarga dapat membantu
proses penyembuhan pasien ODGJ.
·
Wawancara telah dilakukan kepada programmer kesehatan jiwa
Puskesmas, sejumlah kader kesehatan jiwa di desa, pendamping camp assessment,
dan klien/pasien ODGJ.
·
Analisis PUU: UU 19/2011, UU 24/2011, UU
18/2014, UU 23/2014, UU 36/2014, UU 8/2016, PP 47/2016, Permenkes 77/2015,
Perda 4/2012, Pergub DIY 81/2014.
·
Rancangan alur: promotif, preventif,
kuratif, rehabilitatif
3. Masukan
peserta rapat:
a.
Kumham:
·
Di latar belakang disebutkan klithih, tapi
di survei tidak ada terkait klithih. Apakah termasuk gangguan jiwa? Bagaimana
dapat dilakukan penanganan dalam raperda?
·
Dampak beban keuangan negara belum
dibahas. Mungkin tidak hanya di dinkes tapi berbagai dinas.
·
Permasalahan perlu dipertajam, karena
dalam survei, masyarakat sebagaian besar sudah tahu terkait informasi kesehatan
jiwa.
·
Dinas2 juga perlu dijadikan responden.
·
Analisis distribusi obat mungkin dapat
diatur pula.
·
Latar belakang masih terlalu umum, perlu
fokus pada permasalahan kesehatan jiwa di DIY maupun kabupaten/kota di DIY
·
Perlu data terkait jumlah ODGJ/ODMK pada
usia produktif, bisa berdampak pada perekonomian daerah.
·
Bisa ditambah jumlah responden berdasarkan
usia, dapat diketahui apakah ada perbedaan/persamaan pandangan terkait
penanganan atas permasalahan kesehatan jiwa di sekitar mereka.
(dr. Widea: klithih, gepeng itu masalah
kesehatan jiwa, mereka tidak sadar bisa menjadi gangguan jiwa; bima: masih
dikaji terkait beban keuangan daerah, bisa menambahkan pengaturan terkait
cadangan, subsisdi obat)
b.
Biro Bina Mental:
Belum
ada penjabaran terkait peran lintas sektor.
c.
Dinas Kesehatan:
·
Upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM)
terkait kesehatan jiwa di DIY masih sangat minimalis.
·
Fokus pada promotif dan preventif,
terutama deteksi dini.
·
Mekanisme pembiayaan ODGJ yang tidak punya
NIK.
·
Merupakan isu bersama, tidak hanya masalah
Dinkes.
·
PPKJM yang dibentuk tahun 2009 sudah tidak
aktif, berusaha mengaktifkan tapi belum berhasil, padahal banyak melibatkan
lintas sektor dengan masing2 tusinya.
·
Komentar (0)