Rapat Persiapan Pelaksanaan Kontrak (Program Mutu) Penyusunan Naskah Akademik dan Raperda Inisiatif DPRD DIY tentang Kesehatan Jiwa


YUSTI BAGASUARI, S.H.
diposting pada 07 Juli 2021

Hari/tanggal    : Rabu, 7 Juli 2021

Waktu             : 09.00-12.00WIB

Tempat            : Zoom

Peserta Rapat  :

1.      Sekretariat DPRD DIY;

2.      Biro Bina Mental Spiritual;

3.      Dinas Kesehatan DIY;

4.      Biro Hukum Setda DIY;

5.      RS Grasia;

6.      BAPPEDA;

7.      Tim Ahli CV Mulitilisensi;

8.      Perancang Kanwil Kemenkumham DIY (Santi Mediana Panjaitan, S.H., M.H.,  Yusti Bagasuari, S.H., dan Syafriel Hevitha Endyani, S.H)

Acara: Rapat Persiapan Pelaksanaan Kontrak (Program Mutu) Penyusunan Naskah Akademik dan Raperda Inisiatif DPRD DIY tentang Kesehatan Jiwa

Jalannya Rapat:

1.      Rapat dibuka oleh pimpinan rapat pada pukul 09.15 WIB. Pada rapat kali ini Setwan memohon masukan terhadap memberikan paparan tenaga ahli CV. Mulitilisensi

2.      Paparan Tim Ahli CV. Multilisensi:

a.       Bicara kesehatan jiwa adalah bicara sebelum dilahirkan sampai meninggal.

b.      Mohon akses terkait data yang dibutuhkan untuk masukan dalam perda ini.

c.       Paparan dr. Widea:

·         Isu kesehatan jiwa di DIY: Fenomena bunuh diri di Gunung kidul; Fenomena klitih pada Pelajar; DIY peringkat  kelima jumlah pengguna narkoba; Adanya program Desa Siaga Sehat Jiwa (Di dalamnya terdapat kegiatan Jogo wargo dan jogo tonggo sebagai kekhasan)

·         Isu masa pandemi: Pandemi meningkatkan angka kecemasan, depresi, bipolar remaja/mahasiswa, angka bunuh diri; Anak-anak terkena efek  psikologis dari pembelajaran daring; Tingginya angka kriminalitas karena kesulitan ekonomi dan PSBB; Kurangnya self awareness dikarenakan belum mampu melakukan  self assessment dan kurangnya edukasi

·         Pemda perlu berupaya memenuhi HAM melalui perda. Misal isu pengampuan yang sensitif bagi ODGJ

·         ODGJ dengan disabilitas juga perlu mendapatkan perhatian

·         Terdapat peningkatan jumlah pasien ODGJ DIY.  

·         Sudah dimulai layanan puskesmas bagi pasien jiwa, meskipun belum optimal

·         Anggaran untuk pencegahan dan pengendalian kesehatan jiwa yang terbatas

·         Kendala jarak antara pasien dengan RS jiwa untuk rawat inap. Idealnya setiap RSUD menyediakan rawat inap untuk ODGJ. Sementara ini seluruh RSUD belum mempunyai rawat inap untuk pasien psikiatri

·         Akses dan mutu layanan Rumah Sakit Jiwa yang minim

·         Sistem rujukan belum berjalan optimal, seperti rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama belum dilakukan sesuai dengan prosedur rujukan yang benar, begitu pula pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan primer belum dilakukan sesuai dengan pedoman/standar yang baku.

·         Sumber daya manusia, tenaga spesialis dan subspesialis jiwa masih terbatas, dan penyebarannya masih belum merata.

·         Perlunya pemberdayaan masyarakat dan peningkatan fungsi puskesmas untuk perawatan pasien.

·         Diperlukan edukasi kepada pemuka masyarakat dan pemuka agama. Pemuka masyarakat dan pemuka agama harus memberikan dukungan yang baik dan mensinergiskan antara penanganan secara medis dengan penanganan secara religius sesuai dengan agama masing-masing ODGJ. Sekaligus sebagai pembinaan spiritual bagi ODGJ secara benar.

·         Diperlukan edukasi dan konseling kesehatan jiwa bagi pasangan pranikah (pelaksanaan pembekalan secara komprehensif, agar calon pengantin siap menghadapi problematika rumah tangga dan mampu menemukan resolusi).

·         Permasalahan kesehatan jiwa lansia (demensia) yang perlu mendpaat perhatian keluarga.

·         Permasalahan kesehatan jiwa di tempat kerja menghakatkan ruang konsultasi semacam Pojok Keswa baik secara offline maupun online.

·         Banyak ODGJ bekerja namun tak dapat memasarkan hasil karyanya

·         Koordinasi dan kerjasama lintas program maupun lintas sektoral belum optimal.

·         Kesehatan jiwa belum banyak dibahas dalam pelaporan profil kesehatan

·         Belum adanya Perda yang secara khusus mengatur penanganan kesehatan jiwa di DIY

·         Kebijakan masalah kesehatan jiwa belum merupakan program prioritas

·         Yogyakarta nomor 2 se-Indonesia untuk angka gangguan jiwa berat. (Riskesdas 2018). Sebagai tindak lanjut riskesdas, kini telah disediakan penanggung jawab program kesehatan jiwa di seluruh puskesmas se-DIY dan disediakan layanan bagi pasien jiwa, namun tetap perlu peningkatan dalam pelaksanaan fungsinya.

·         Cakupan indikator penderita gangguan jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak diterlantarkan per 4 Juli 2019 DIY sebesar 45,11%.

·         Target Indonesia bebas pasung tahun 2019 belum tercapai.

·         Harus ada edukasi di masyarakat agar ODGJ rutin melakukan kontrol.

·         Beberapa permsalahan terkait obat: pasien sudah merasa sehat sehingga tidak merasa tidak perlu minum obat lagi; obat yang diperlukan tidak ditanggung BPJS (tidak sanggup membeli karena mahal); obat yang ditanggung BPJS merupakan generasi 1 yang memiliki efek samping tinggi, sedangkan obat generasi 4 dengan efek samping jangka panjang yang rendah justru belum ditanggung BPJS; lupa minum obat (ada jalan keluar berupa obat suntik namun harganya mahal); dosis tidak sesuai; stok obat tidak tersedia.

d.      Paparan Ahli Kesehatan Masyarakat Ibu Agil Dhiemitra:

·         Metode yang akan digunakan dalam penyusunan NA adalah metode penelitian hukum Normatif Empiris. Penyusunan NA akan dilakukan dengan komparasi antara data sekunder dan data primer berkenaan dengan perundangan yang berlaku dan fakta lapangan yang ditemukan terkait Kesehatan Jiwa.

·         Desain penelitian dalam pengambilan data cenderung menggunakan Mix methode dengan The Explanatory Design (menganalisis menggunakan analisis faktor untuk penelitian awal di mana faktor-faktor yang mempengaruhi suatu variabel belum diidentifikasikan secara baik)

·         Metode Penelitian Kuantitatif Survei yang bersifat deskriptif, asosiatif. Dimulai dengan pengambilan data kuantitatif melalui kuesioner, observasi, termasuk data sekunder. Setelah dilakukan analisis terhadap data kuantitatif, selanjutnya dilakukan pengambilan data kualitatif untuk melengkapi data kuantitatif atau memperdalam data kuantitatif. Pengambilan data kualitatif bisa dengan indept interview dan FGD.

·         Menggunakan Rumus Slovin (proporsi sasaran belum diketahui) sehingga diperoleh jumlah 400 sample penelitian.

·         Metode sampling dengan stratified random sampling terdiri dari masyarakat umum (usia 14 - 80 tahun); pasien di pelayanan kesehatan (puskesmas, RS); Lembaga Bina Sosial; Dinsos.

e.       Paparan Ahli Hukum Ibu Puspaningtyas dan Bpk Bima:

Data primer dan sekunder yang sudah diperoleh akan menjadi pertimbangan dalam melakukan kajian terhadap beberapa peraturan perundang-undangan terkait kesehatan jiwa, misalnya UU 18/2014, UU 8/2016, UU  19/2011, Permenkes 77/2015, Perda DIY 4/2014, Pergub DIY 81/2014.

3.      Masukan dari peserta rapat:

a.       Setwan DIY Pak Rio

·         Perlunya pemaparan untuk meyakinkan penguasaan topik oleh tenaga ahli/peneliti.

·         Dalam KAK menggunakan metode yuridis Empiris, perlu memperkuat sarana agar dapat akurat meskipun terkendla keadaan (pandemic). Penting untuk memperhatikan tata cara penulisan akademi (pengutipan dan lainnya).

·         Tenaga ahli hukum diharapkan ikut mencermati dan mendalami topic dengan memperbanyak diskusi.

·         Raperda hendaknya menjadi solusi bagi permasalahan yang telah dibahas dalam naskah akademik tidak hanya copas dari aturan yang lebih tinggi.

·         Substansi ODMK dan ODGJ serta pemasungan diperhatikan secara seimbang.

·         Terkait istilah ART dapat distandarkan atau diberi penjelasan sesuai dengan defisini yang sesuai dengan pembahasan.

·         Pesantren yang melakukan penanganan kesehatan jiwa yang mempunyai ODGJ banyak.

b.      RS Grasia

·         Beberapa aturan tambahan untuk dikaji: Dasar hukum Perda 1/2014 tentang penanganan gelandang dan pengemis; PerGub Nomor 36/2017 tentang penangananan gelandang dan pengemis psikotik; Permenkes 4/2019 standar minimal pelayanan kesehatan, ODGJ tidak boleh ditelantarkan yang bisa menjadi pedoman bagi Kabupaten/Kota bagi standar minimal penanganan ODGJ.

·         Terkait stigma di masyarakat sangat tinggi dan menjadi PR agar stigma terhadap ODGJ minimal dikurangi atau bahkan bisa menghilangkan stigma tersebut.

NoFile Pendukung
1.Notula 2021-07-07.docx

Komentar (0)